Kekayaan sejarah sebuah kota atau daerah terlihat dari jejak peninggalan atau yang disebut cultural heritage dan living cultural yang tersisa dan hidup di daerah tersebut. Keduanya merupakan warisan peradaban manusia.
Demikian halnya dengan daerah Tegal, wilayah yang kaya akan jejak peninggalan sejarah sebagai penanda bahwa Tegal sebagai tlatah daerah tak dapat dilepaskan dari keterkaitan garis sejarah hingga membentuk daerah ini. Penekanan pada bidang pertanian misalnya, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar sejarah tlatah Tegal yang mengembangkan kapasitasnya sebagai daerah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari demung trah Pajang. Bahkan kalau dirunut keagrarisan itu dimulai semenjak jaman Mataram Kuno.
Kesaksian ini diperkuat dengan ditemukannya artefak kuno dan candi di Pagedangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pertanian.
Tlatah Tegal juga tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kerajaan-kerajaan jaman dulu yang dibangun di tlatah Sunda, misalnya Kerajaan Galuh Kawali yang wilayah kekuasaannya meliputi lebih dari setengah wilayah Jawa Tengah sekarang, jadi termasuk wilayah Tegal dan Banyumas.
Namun sejarah tlatah Tegal tak dapat dipisahkan dari ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, karena ayahnya, Ki Gede Tepus Rumput (Pangeran Onje) adalah keturunan Batara Katong, Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan dengan keturunan dinasti Majapahit.
Ki Gede Sebayu adalah putra ke22 dari 90 saudara. Putra beliau 2 orang yaitu, Raden Ayu Giyanti Subalaksana yang menjadi istri Pangeran Selarong (Pangeran Purbaya) dan Ki Gede Honggobuwono.
Kata Tegal sendiri berasal dari kata Tetegal yang artinya tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian. Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan ini diberikan oleh seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pieres yang pernah singgah di pelabuhan Tegal sekitar tahun 1500-an. Tome Pieres adalah penjelajah sekaligus saudagar yang menjual hasil-hasil pertanian dan gula. Menurut catatan Tome Pieres, pada waktu itu perdagangan di Tegal didominasi oleh orang-orang India dan Tionghoa.
Antara abad 10 sampai 16 kemungkinan di wilayah Tegal ada sistem pemerintahan atau dikuasai kerajaan kecil, sebab menurut catatan Rijklof van Goens dan data di buku W. Fruin Mees, disebut kalau sekitar tahun 1575 daerah itu termasuk daerah merdeka yang dipimpin oleh raja kecil atau pangeran. Pendapat ini juga didukung di buku The History of Java karya Raffles yang menyatakan kalau ada kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Mandaraka (ada juga yang menyebut Kerajaan Salya) di sekitar wilayah Tegal, tapi catatan ini sedikit meragukan.
Kerajaan Mataram mulai menguasai Tegal setelah penyerangan pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Seda Krapyak. Sebagai bagian dari Kerajaan Mataram, wilayah Tegal mendapat status Kadipaten pada hari Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601, dan Ki Gede Sebayu diangkat oleh Panembahan Senopati (penguasa Mataram) menjadi Juru Demang (setingkat Tumenggung).
Pada jaman perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830), menurut catatan P.J.F. Louw dalam bukunya De Java Oorlog Uan, wilayah Tegal dipimpin Residen Uan Den Poet.
Antara abad 10 sampai 16 kemungkinan di wilayah Tegal ada sistem pemerintahan atau dikuasai kerajaan kecil, sebab menurut catatan Rijklof van Goens dan data di buku W. Fruin Mees, disebut kalau sekitar tahun 1575 daerah itu termasuk daerah merdeka yang dipimpin oleh raja kecil atau pangeran. Pendapat ini juga didukung di buku The History of Java karya Raffles yang menyatakan kalau ada kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Mandaraka (ada juga yang menyebut Kerajaan Salya) di sekitar wilayah Tegal, tapi catatan ini sedikit meragukan.
Kerajaan Mataram mulai menguasai Tegal setelah penyerangan pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Seda Krapyak. Sebagai bagian dari Kerajaan Mataram, wilayah Tegal mendapat status Kadipaten pada hari Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601, dan Ki Gede Sebayu diangkat oleh Panembahan Senopati (penguasa Mataram) menjadi Juru Demang (setingkat Tumenggung).
Pada jaman perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830), menurut catatan P.J.F. Louw dalam bukunya De Java Oorlog Uan, wilayah Tegal dipimpin Residen Uan Den Poet.